by Endar Suhendar, M.Pd.

Saat Cinta Orang Tua Justru Jadi 'Bully' bagi Anak Sendiri

Tidak ada orang tua di dunia ini yang ingin menyakiti anaknya. Tidak ada. Cinta kita pada mereka seluas samudra, setinggi langit. Kita ingin mereka tangguh, sukses, dan kuat. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah cara kita menunjukkan cinta itu, cara kita mendidik, cara kita berbicara... terasa seperti cinta di hati mereka? atau malah sebaliknya?

Ini adalah perenungan yang mungkin tidak ingin kita lihat. Karena terkadang, dengan niat terbaik di dunia, ucapan dan tindakan kita justru menggoreskan luka tak kasat mata di jiwa anak kita. Tanpa sadar, kita bisa menjadi 'pembully' pertama yang mereka kenal.

 

Wajah-Wajah Lain dari 'Bullying' di Rumah

Bullying tidak selamanya tentang kekerasan fisik. Di dalam rumah, ia seringkali datang dengan penyamaran yang lebih halus, bersembunyi di balik topeng "nasihat", "candaan", atau "demi kebaikanmu". Coba kita kenali beberapa wajahnya:

  • Si Tukang Bercanda. 

"Hahaha, dasar cengeng, digoda sedikit saja langsung nangis!" atau "Lihat tuh perutnya buncit, kebanyakan makan kerupuk ya?" Mungkin niat kita hanya mencairkan suasana. Tapi bagi anak, candaan tentang fisik atau kelemahannya yang diulang-ulang adalah palu kecil yang terus-menerus meretakkan rasa percaya dirinya.

  • Si Perfeksionis

"Nilai 90? Kenapa tidak 100? Temanmu ada yang dapat 100, kan?" atau "Sudah Ayah bilang, warnainya jangan keluar garis! Kamu ini kok nggak bisa rapi, sih?" Kritik yang terus-menerus, bahkan untuk hal kecil, mengirimkan pesan yang menusuk: "Kamu tidak pernah cukup baik".

  • Si Pembanding Ulung. 

"Coba lihat Kakakmu, dia rajin bantu Ibu, tidak seperti kamu yang main terus," atau "Anak tetangga sudah hafal 10 surat, kamu juz 'amma saja belum lancar." Membandingkan adalah racun yang bekerja pelan-pelan, membunuh keunikan anak dan menumbuhkan benih iri hati serta rasa rendah diri.

  • Si Peramal Pikiran. 

"Sudah, jangan sedih. Gitu aja kok ditangisi, tidak penting," atau "Kamu nggak mungkin takut, kan anak laki-laki!" Saat kita menyangkal atau meremehkan perasaan mereka, kita sedang memberitahu mereka bahwa emosi mereka salah dan tidak valid. Mereka pun belajar untuk memendam semuanya sendirian.

 

Melihat dari Mata Mereka

Yuk kita sejenak renungkan. Bayangkan kita bertukar posisi menjadi anak kita. Setiap hari kita mendengar lelucon tentang kekurangan kita. Setiap usaha kita selalu disambut dengan "kurang ini, kurang itu". Setiap pencapaian kita selalu terasa hampa karena ada orang lain yang lebih hebat. Dan setiap kali kita merasa sedih atau takut, perasaan kita dianggap tidak penting.

Bagaimana rasanya? Sesak, bukan?

Rumah yang seharusnya menjadi pelabuhan teraman, malah terasa seperti pengadilan yang terus-menerus menghakimi. Orang tua yang seharusnya menjadi sumber kekuatan, malah menjadi sumber kecemasan terbesar. Inilah luka dari bullying terselubung. Ia tidak meninggalkan lebam di kulit, tapi meninggalkan parut di jiwa. Padahal, anak adalah amanah terindah dari Allah, yang dititipkan agar kita jaga hatinya, bukan kita gores dengan kata-kata.

 

Menjadi Pelabuhan, Bukan Badai

Lalu, bagaimana caranya agar cinta kita sampai sebagai cinta di jiwa anak kita? Bagaimana agar rumah kembali menjadi surga kecil bagi mereka?

Perubahannya dimulai dari kita. Dari kesadaran kita.

  • Ganti Lensa Kita untuk Fokus pada Proses, Bukan Hasil Akhir.

 Daripada mengkritik hasil gambarnya yang keluar garis, pujilah usahanya dalam memilih warna. "Wah, kamu sabar sekali mewarnai pohon ini sampai selesai. Hebat!" Ini mengajarkan mereka bahwa usaha itu sendiri sudah berharga.

  • Jadilah Pendengar, Bukan Hakim. 

Saat mereka datang dengan wajah murung, tahan keinginan untuk langsung menasihati. Duduklah di sampingnya, dan cukup katakan, "Sepertinya hari ini berat ya, Nak? Mau cerita?" Kadang, yang mereka butuhkan hanyalah telinga yang mau mendengar, bukan mulut yang menghakimi.

  • Ucapkan Mantra Ajaib: "Maaf". 

Tidak ada orang tua yang sempurna. Akan ada saatnya kita terpeleset, mengucapkan kata yang menyakitkan karena lelah atau emosi. Saat itu terjadi, rendahkan ego kita dan katakan, "Nak, maaf ya, tadi Ayah/Bunda salah bicara. Seharusnya tidak begitu." Ini tidak akan membuat kita kehilangan wibawa; sebaliknya, ini mengajari mereka tentang kerendahan hati dan cara memperbaiki kesalahan.

  • Rumah adalah Zona Bebas Perbandingan. 

Sadari dan rayakan keunikan setiap anak. Yang satu mungkin jago matematika, yang lain punya hati yang sangat lembut dan penyayang. Keduanya adalah anugerah. Biarkan mereka tumbuh di jalurnya masing-masing, tanpa bayang-bayang orang lain.

 

Ayah Bunda yang terkasih,

Perjalanan menjadi orang tua adalah perjalanan belajar seumur hidup. Tujuan kita bukanlah menjadi sempurna, tapi menjadi lebih sadar dan lebih baik dari hari ke hari. Mari kita berjanji pada diri sendiri untuk lebih sering melihat dari mata anak kita, lebih cepat meminta maaf saat salah, dan lebih tulus memuji usaha mereka.

Agar saat mereka dewasa nanti, ingatan mereka tentang kita bukanlah sebagai sosok yang menakutkan, melainkan sebagai pelabuhan teraman tempat mereka selalu bisa kembali, apa pun badai yang mereka hadapi di luar sana.