by Endar Suhendar, M.Pd.

Selalu Bilang ‘Iya’ Padahal Hati Bilang ‘Tidak’? Mari Berkenalan dengan Batasan Diri

Dering telepon. Di layar tertera nama teman dekat. Dalam hati Anda sudah bisa menebak, ini pasti ajakan untuk kumpul atau permintaan tolong. Padahal, badan rasanya mau remuk, dan pikiran butuh jeda setelah seminggu yang penuh tekanan.

Anda ingin sekali mengetik, "Maaf, aku butuh istirahat." Tapi jari Anda kaku. Sebuah suara di kepala berbisik, "Nanti dia kecewa." "Nanti kamu dianggap nggak asyik." "Masa gitu aja nggak bisa?"

Dan di situlah dia datang, si monster kecil bernama ‘rasa nggak enakan’.

Akhirnya, dengan tarikan napas berat, Anda membalas, "Boleh, jam berapa?" Setelahnya, muncul perasaan lain, sesal. Anda kesal pada diri sendiri karena tidak bisa membela kebutuhan Anda, dan sedikit kesal pada teman Anda yang seolah tidak mengerti.

Jika cerita ini terasa seperti rekaman rusak dalam hidup Anda, ketahuilah: Anda tidak sendirian. Kita hidup dalam budaya yang sangat menghargai kebaikan, harmoni, dan menolong sesama. Itu adalah hal yang indah. Tapi di sisi lain, itu seringkali menjadi jebakan yang membuat kita lupa cara menolong dan menghargai diri sendiri.

Kita terjebak, antara keinginan menjadi orang yang baik dan kebutuhan untuk menyelamatkan diri dari kelelahan. Pertanyaannya, apakah keduanya memang harus saling bertentangan? Jawabannya adalah tidak. Kuncinya ada pada satu hal yang sering disalahpahami, yaitu batasan diri (boundaries).

 

Kenapa Bilang ‘Tidak’ Rasanya Seperti Dosa?

Sebelum kita bisa membangun batasan, kita perlu jujur dulu pada diri sendiri kenapa hal ini begitu sulit. Rasa ‘nggak enakan’ itu bukan sekadar perasaan canggung. Ia adalah puncak gunung es dari ketakutan yang lebih dalam:

  • Takut Ditinggalkan: Kita takut jika kita menolak, orang lain akan menjauh dan kita akan sendirian.
  • Takut Dicap Egois: Label "egois" terasa seperti cap buruk di dahi. Kita lebih memilih mengorbankan diri daripada dicap seperti itu.
  • Takut Menyakiti Perasaan Orang Lain: Kita adalah makhluk empatik. Melihat orang lain kecewa karena kita, rasanya sangat tidak nyaman.
  • Merasa Bertanggung Jawab atas Kebahagiaan Orang Lain: Banyak dari kita dibesarkan untuk percaya bahwa tugas kita adalah membuat orang di sekitar kita senang.

Melihat daftar ini, wajar jika membangun batasan terasa seperti melawan arus yang sangat deras. Tapi, terus-menerus membiarkan diri kita terseret arus hanya akan menenggelamkan kita.

 

Jadi, 'Batasan Sehat' Itu Sebenarnya Bentuknya Gimana?

Mari kita luruskan persepsi. Batasan diri bukanlah tembok tinggi yang dingin untuk mengisolasi diri. Bayangkan ia lebih seperti pagar taman yang indah.

Pagar itu tidak menghalangi orang lain untuk menikmati keindahan taman Anda dari luar. Ia juga memiliki gerbang yang bisa Anda buka kapan pun Anda mau. Fungsi utamanya adalah untuk melindungi apa yang ada di dalamnya—bunga-bunga energi Anda, tanaman ketenangan Anda, dan tanah kesuburan mental Anda—dari injakan yang tidak disengaja atau perusak yang sengaja.

Batasan yang sehat bisa berbentuk banyak hal:

  • Mengatakan "Tidak" pada ajakan atau permintaan tanpa perlu merasa bersalah.
  • Mengatakan "Aku butuh waktu untuk berpikir," sebelum memberikan jawaban.
  • Tidak langsung menjawab telepon atau pesan jika Anda sedang butuh fokus atau istirahat.
  • Membatasi topik pembicaraan yang membuat Anda tidak nyaman.
  • Menjaga waktu dan energi Anda sebagai sumber daya yang berharga dan tidak tak terbatas.

Batasan ini bukan tentang menolak orang lain. Ini tentang menerima dan menghargai diri sendiri.

 

Oke, Saya Paham. Terus, Mulainya Gimana?

Membangun batasan adalah latihan otot. Anda tidak bisa langsung mengangkat beban 100 kg. Anda mulai dari yang ringan, secara konsisten.

1. Mulai dari Kesadaran.

Amati selama seminggu ke depan. Perhatikan situasi apa saja yang membuat Anda merasa terkuras atau menyesal setelahnya. Siapa orangnya? Apa permintaannya? Kenali polanya. Inilah titik-titik ‘kebocoran’ di pagar Anda.

2. Latihan di Arena yang Aman.

Jangan mulai berlatih pada atasan atau mertua Anda. Mulailah dengan hal kecil. Coba katakan "Maaf, saya lagi nggak bisa," pada telemarketer yang menelepon. Atau saat kasir menawarkan tambahan produk, katakan "Cukup ini saja, terima kasih." Rasakan sensasi mengucapkannya. Rasakan bahwa dunia tidak runtuh setelahnya.

3. Siapkan "Kalimat Sakti" Anda.

Rasa gugup seringkali membuat kita sulit merangkai kata. Siapkan beberapa kalimat andalan yang terasa nyaman di mulut Anda. Kuncinya adalah jujur, singkat, dan baik.

"Terima kasih banyak tawarannya, tapi untuk saat ini aku lewat dulu ya."

"Aku perlu cek jadwalku dulu, nanti aku kabari lagi ya." (Ini memberi Anda waktu untuk berpikir, bukan langsung bilang 'iya').

"Aku mengerti ini penting untukmu, tapi sayangnya aku tidak bisa membantumu saat ini karena sedang ada prioritas lain."

4. Terima Rasa Tidak Nyaman yang Muncul.

Saat pertama kali melakukannya, Anda akan merasa sangat tidak nyaman. Jantung mungkin berdebar, dan rasa bersalah akan muncul. Biarkan perasaan itu ada. Itu wajar. Itu adalah reaksi dari kebiasaan lama Anda. Ingatkan diri Anda bahwa rasa tidak nyaman sementara ini adalah harga yang harus dibayar untuk kedamaian jangka panjang.

 

Bayangkan sebuah kehidupan di mana Anda bisa membantu orang lain dengan tulus, bukan karena terpaksa. Di mana Anda bisa beristirahat tanpa merasa bersalah. Di mana energi Anda digunakan untuk hal-hal yang benar-benar penting bagi Anda.

Itulah kehidupan yang menanti di balik pagar taman Anda yang sehat.

Karena sebuah ‘ya’ yang tulus dari orang yang utuh dan berenergi, jauh lebih berharga daripada seribu ‘ya’ yang terpaksa dari orang yang kelelahan. Membangun batasan adalah cara Anda untuk bisa memberikan ‘ya’ yang paling tulus itu.